jump to navigation

Pulau Nias: Tanö Merdeka? Desember 9, 2007

Posted by ononiha in Berita Nasional.
trackback

Mengenang gempa dan tsunami Nias (7) Selesai

Penulis: Junito Drias

Rerentuhan.jpgGempa Sumatera akhir Maret 2005, yang berkekuatan 8,7 Skala Richter, menghancurkan sekitar 60 persen bangunan di Pulau Nias serta menewaskan kurang lebih 1000 jiwa. Upaya swadaya masyarakat untuk membangun kembali Tanö Niha pasca tsunami Desember 2004 turut hilang tak tersisa ditelan bumi. Seperti tak pernah belajar pada bencana tsunami terdahulu, respon pemerintah masih saja sangat lamban.

Kelambanan
Kelambanan itu salah satunya tercermin dari tidak jelasnya informasi seputar bantuan. Boy Harefa, anggota Palang Merah Indonesia di Gunung Sitoli, yang dihubungi Radio Nederland satu hari setelah bencana menegaskan bahwa bantuan kemanusiaan sama sekali belum masuk. “Memang dari udara tadi ada pemantauan, tapi helikopternya nggak turun, cuma muter-muter saja!”

Alih-alih tanggap atas informasi tersebut dengan bereaksi cepat mengirimkan bantuan kemanusiaan, bupati Nias Binahati B. Baeha malah marah-marah sambil menuding laporan tersebut tidak benar. “Ah itu bohong! bantuan apa maksudnya? Siapa yang bicara itu!”. Binahati kemudian mengutip Satuan Koordinator Pelaksana (Satkorlak,red) Sumatra Utara yang mengatakan bahwa bantuan telah dikirim oleh gubernur.

Tapi itupun dibantah aktivis Nias, Elisakti Halawa yang saat kejadian hingga hari-hari setelah itu ada di ibukota Gunung Sitoli. Radio Nederland berhasil menghubungi Elisakti lima hari setelah bencana. “Belum ada! makanya masyarakat ramai-ramai mendatangi kantor bupati dan membongkar gudang yang kebetulan masih bertumpuk bantuan untuk tsunami dahulu!” tegasnya. Rupanya bantuan untuk tsunami 26 Desember 2004 banyak yang belum disalurkan pemerintah daerah Nias pada waktu itu, sekalipun sudah lewat tiga bulan. “Tapi itu hanya di Gunung Sitoli dan hanya sebagian kecil yang tertolong dengan itu, jadi aku pikir tidak benar kalau bantuan sudah tersalur apalagi di kecamatan-kecamatan yang jauh dari Gunung Sitoli karena transportasi sekarang lumpuh total!”

Bantuan Medis.jpg
Aktivis Relawan Kemanusian Nias dengan
lembaga keagamaan bahu membahu
memberi bantuan kesehatan.

Respon pemerintah
Respon pemerintah yang lambat bisa jadi berpangkal pada rendahnya perhatian pemerintah. Ini mungkin dapat dilihat dari minimnya aparat di Nias. Sang pemimpin daerah, kabarnya, lebih sering tinggal di Medan, ibukota propinsi Sumatera Utara. Menurut salah seorang aktivis, saat tsunami menimpa Nias pada Desember 2004, bupati Binahati sedang berada di Jakarta. Kemudian saat gempa Maret 2005, Bupati lagi di Medan. Untuk peristiwa yang terakhir ini, ia bahkan tidak segera datang ke Nias. Alasannya kesulitan transportasi.”Karena bandar udara Binaka sedang rusak, jadi pesawat besar-besar belum bisa masuk!”
“Kenapa tidak pakai jalur darat pak?” tanya Radio Nederland.
“Anda pernah naik jalur darat?” Binahati balik bertanya.
“Pernah, memang berat sekali pak!”
Bupati Binahati kemudian menjawab dengan nada tinggi, “Bukan soal beratnya, tapi berapa lama, satu hari satu malam! satu malam di kapal, delapan jam di darat, jadi percuma saja!”

Bupati nampaknya merasa tidak perlu banyak berjuang untuk mencapai daerah yang dipimpinnya. Binahati merasa peranan wakil bupati yang pada saat kejadian ada di Gunung Sitoli sudah cukup. Padahal kalau dia mau berusaha habis-habisan tentunya Bupati sudah tiba di Nias dalam waktu 24 jam setelah kejadian. Apalagi faktanya pasca bencana helikopter dapat mendarat di pulau barat Sumatera Utara tersebut.

Turunan B. Gulo putra Nias yang menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara tidak merasa heran atas kelambanan itu. Sejak dulu pelayanan publik terhadap warga sangat buruk. Gulo menyitir salah satu contoh. “Misalnya kalau ngurus kartu tanda penduduk jangan diperas lagi dong, harus bayar sekian gitu, sudah harus jalan kaki ngurus ke kecamatan, mereka juga harus diperas, ini yang kita sesali!” Pelayanan publik juga termasuk yang lebih luas yaitu pendidikan. “Gurunya makin bagus atau nggak, makin banyak atau nggak, ini malah makin habis!” Gulo memberi contoh apa yang terjadi di Nias Selatan. “Pejabat-pejabat struktural ditarik dari guru-guru sementara Nias Selatan itu kekurangan guru!”

Selain itu Gulo juga melihat akar permasalahan yang harus terlebih dulu dibereskan. “Itu kemiskinan struktural, bukan masyarakatnya bodoh atau tanahnya tidak subur,” ujarnya menerangkan. “Ini juga persoalan sistem ekonomi orde baru yang menganut pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, itu tidak salah, tapi salahnya mereka sangat Jakarta sentris, Nias yang menjadi daerah pinggiran tidak menjadi bagian yang harus diperhatikan!”

Gereja Ambruk.jpg
Rumah ibadah di Nias rusak akibat gempa
dahsyat Maret 2005. Lumpuh kehidupan
memancing eksodus.

Tidak ada pilihan
Akibat kemiskinan arus eksodus warga meninggalkan Tanö Niha terus meningkat dari tahun ke tahun dan berpuncak pada bencana gempa Maret 2005. Menurut sumber Satkorlak penanggulangan bencana alam Nias jumlah eksodus mencapai angka 15 ribu. Tapi beberapa aktivis menyebut angka puluhan ribu hingga ratusan ribu. Tapi wajar saja kalau warga Nias meninggalkan tanah kelahirannya. 80 persen dari 420 kilo meter panjang jalan di pulau Nias hancur total. Padahal transportasi merupakan urat nadi ekonomi. Kalau sudah putus bagaimana bisa melanjutkan hidup. “Jadi bukan sekedar ingin sukses tapi memang enggak ada pilihan!” ujar Gulo mengomentari eksodusnya warga Nias.Pada akhirnya Gulo merasa perjuangan mandiri rakyat Nias untuk maju tidaklah cukup. Itu perlu disertai dengan tuntutan kepada pemerintah agar mau memperhatikan pulau di barat Sumatera Utara tersebut. “Ya barangkali Nias harus menuntut diri merdeka kalau tidak ada perhatian!” Tapi Gulo buru-buru menambahkan bahwa ucapan ini merupakan sisi-sisi lain dari teriakan warga Nias. “Mungkin serius juga nggak,” imbuhnya. “Kita hanya mau mengatakan negara ini telah dibentuk untuk melindungi hak asasi manusia, memperjuangkan kepentingan publik, nah kalau ini tidak jalan, ya untuk apa ada negara, untuk apa ada pemerintah!”    

Pulau Nias merupakan salah satu wilayah dari sekian luas wilayah Indonesia yang mengalami keterbelakangan dan ketertinggalan. Masih banyak wilayah lain yang senasib atau bahkan lebih tertinggal dari Nias. Tapi Tanö Niha bisa jadi contoh betapa rendah perhatian pemerintah kepada daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Kalau berlarut-larut ini bisa menjadi benih baru lunturnya rasa Indonesianisme.

Komentar»

1. ononiha - Desember 9, 2007

Lebih baik menatap masa depan dari pada teringat terus masa lalu. Lupakanlah masa lalu…

2. nopejos - Desember 31, 2007

NIAS…SEMANGAT..!!!!!!!!!!!!!!

3. Zichazataro - Februari 10, 2008

Prioritas nomor satu adalah membuat Nias sejahtera dahulu. Caranya? Sejahterakan diri sendiri dan jangan kita buat Ono Niha jadi peminta-minta. Setelah itu kita bantu saudara-saudara kita di kampung supaya maju dan mandiri seperti kita sendiri.

Marilah kita jangan terjebak euforia otonomi daerah seperti orang Indonesia lain yang ramai-ramai bikin daerah tingkat I baru. Masalahnya kalau hanya jadi beban Pemerintah pusat nanti malah kita menjadi bulan-bulanan orang di pulau Jawa.

Mandiri = Independen. Merdeka seperti itulah yang kudambakan untuk semua Ono Niha dan juga untuk orang orang lain di Indonesia. Mari kita wujudkan dalam diri kita terlebih dahulu.

Ya’ahowu!

4. Moroi Khoma - Maret 13, 2008

Saohagolo Talifuso!

5. Moroi Khoma - Maret 13, 2008

Yaahowu fefu!


Tinggalkan komentar