jump to navigation

Kecenderungan Berpikir Subjektivis-Solipsis Desember 4, 2007

Posted by ononiha in Filsafat.
trackback

Oleh Noverius Laoli  

Ketika kita melihat sebatang pohon yang menjulang tinggi dan lurus dengan cabang-cabang yang indah, lalu kita memberinya nama, misalnya, sebagai pohon cemara. Tapi pernakah kita berpikir bahwa sesungguhnya pohon itu bukanlah cemara? Orang lain bisa saja menamakanya Pohon Firdaus atau Pohon Zaitun. Tidak tertutup kemungkinan jika ada orang yang asing dan menamakan pohon itu sebagai monyet dan sebagainya.

Subyektivitas

Kita cenderung memberi nama pada segala hal yang kita lihat. Apa yang ada yang kita temui setiap saat selalu kita lihat berdasarkan persepsi kita (esse est percipi, meminjam kata Berkeley, seorang filsuf, teolog dan uskup gereja Katolik). Kita hanya mampu melihat sesuatu itu berdasarkan kemampuan kita untuk mengenalnya. Melihat sesuatu sesuai dengan background yang ada dalam benak dan pikiran kita. Segala hal menjadi tereduksi sebatas kemampuan imajinasi untuk memberinya sebuah arti. Mungkin saja nama atau arti yang kita berikan itu terlalu sempit dan miskin. Segala objek yang kita lihat mungkin sekali memiliki arti bagi dirinya sendiri yang lebih kaya. Bukankah apa yang selalu terlihat oleh mata dan perasaan itu selalu tidak pasti.  Ketika kita melihat tongkat di dalam air selalu terlihat bengkok, padahal kalau kita lihat di darat tongkat tersebut lurus. Berbeda kalau kita melihat suatu objek saat kita baru bangun kita mungkin melihatnya dalam kondisi yang remang-remang atau bayang-bayang. Lalu kita menyimpulkan bahwa kayu yang kita lihat itu adalah kayu yang remang-remang.

Betapa  kelirunya kita memperdebatkan segala objek yang kita lihat hanya sebatas persepsi atau konsep kita saja. Tepat apa yang dikatakan oleh Descartes bahwa apa yang saya lihat itu mungkin sekali menipu saya. Ketika kita melakukan sesuatu atau sedang bersama dengan orang lain, bisa saja kita sedang mimpi dan kita sesungguhnya berada di atas tempat tidur. Apa yang kita bicarakan setiap hari yang selalu kita percayai tapi ternyata hanyalah mimpi. Meragukan segala hal adalah konsep untuk mulai melihat segala hal dengan lebih luas dan tidak hanya sebatas persepsi kita saja. Apa yang diistilahkan oleh Descartes sebagai cogito ergo sum adalah alat yang ampuh untuk selalu menyimpulkan segala hal dengan memiskinkan arti kata tersebut. Misalnya dalam ilmu sains yang mereduksi segala hal dalam arti yang sempit. Sains mencoba mengartikan semua objek dalam ukuran tertentu secara kodifikasi. Tindakan seperti ini bukan hanya merugikan dan membuat  orang menjadi tidak dapat mengerti dan melihat arti yang lebih luas dan mendalam arti dari suatu realitas. Kesempitan berpikir menjadi hal yang diagung-agungkan. Contoh yang paling konkret adalah penggunaan bahasa yang baku dan literal. Inilah yang disebut sebagai bahasa ilmiah satu-satunya yang diterima dalam dunia akademis. Alasannya yaitu artinya langsung jelas dan tidak membuat kita menduga-duga dan meragukan maksudnya. Ini memang baik tapi tidak berarti unsur yang lain tidak memiliki kebenarannya sendiri juga yang tidak kalah berkualitas dengan bahasa literal seperti konsep ilmiah.

Kesempitan berpikir

Satu hal yang membuat kita sulit untuk mencapai dan menghasilkan pemikir-pemikir besar yang pernah ada dalam sejarah kita adalah kesempitan berpikir. Akibat dari kesempitan berpikir ini adalah menghasilkan manusia-manusia yang tidak berani berpikir sendiri (sapere aude, kata Immanuel Kant). Zaman yang di kenal dengan zaman teknologi ini mengkondisikan manusia untuk mengikuti alur berpikirnya saja. Itulah yang paling benar dan yang lain salah dan perlu disingkirkan atau dimusnahkan. Akhirnya zaman yang dikatakan sebagai postmodern ini adalah zaman dimana lahirnya manusia-manusia robot. Semua yang dilakukan sesuai dengan yang sudah diprogramkan. Semua kegiatan dilakukan hanya untuk kemajuan iptek dan di luar itu tidak perlu.

Munculnya perlombaan dalam pembuatan senjata pemusnah massal adalah hasil dari zaman teknologi ini. Meletusnya perang dunia I dan II adalah awal dari penerapan kemajuan teknologi. Kalau zaman dulu orang berperang dengan arif dan bijaksana sesuai dengan aturan dan etika yang berlaku. Orang saling mengenal dan tahu siapa yang akan membunuhnya sebelum ia terbunuh. Sekarang nyawa ribuan bahkan jutaan orang dapat melayang dengan melepaskan satu senjata nuklir. Bahkan kalau zaman dulu sebelum ada teknologi, perang bisa dihentikan bila terjadi kesepakatan meskipun peperangan sudah terjadi. Setelah perang tidak ada lagi korban yang merupakan efek dari perang tersebut. Paling-paling tentara yang sudah kritis ketika di  medan  pertempuran. Tapi sekarang efek dari radiasi bom nuklir ini bisa membunuh lebih besar dari pada yang mati saat bom itu diledakkan. Matinyapun lebih ngeri dan menderita daripada langsung mati saat perang. Efek dari bom nuklir ini bisa dirasakan oleh generasi yang belum lahir saat bom tersebut meletus. Penyakit merupakan efek lanjutan yang dibawanya yang tidak dapat dibendung bahkan oleh sipencipta bom itu sendiri. Apakah ini yang dinamakan suatu kemajuan.

Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang baik tapi dengan mengklaim bahwa hanya sainslah satu-satunya kebenaran sejati adalah keliru.  Realitas yang salah inilah yang sudah membudaya hingga saat ini. Dengan berkembangnya sains semua ilmu yang bersifat humaniora tersingkirkan secara perlahan-lahan dan mati. Agama sudah menjadi hal yang bersifat sangat pribadi dan bukan urusan umum. Kalau kita melihat orang rajin beribadah jangan berprasangka dulu bahwa mereka itu orang suci. Karena apa yang tampak belum tentu sama dengan apa yang tidak tampak.

Jika kita tetap bertahan hanya pada persepsi kita, saat itu kita telah dan sedang diikat cara berpikir solipsis, yang notabene penyakit sebagian intelektual tersohor hingga kini.

* Noverius Laoly adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar