jump to navigation

Apakah Salah Mengakui Nias Sebagai Daerah Miskin? Desember 4, 2007

Posted by ononiha in Berita Nias.
trackback

Oleh Postinus Gulö

 Saya pernah berdebat dengan seorang teman, sesama Nias, gara-gara saya berujar: Nias miskin dan terbelakang. Ujaran saya langsung disanggah. Argumen teman saya ini seolah terulang ketika saya membaca komentar beberapa pengunjung di situs-situs Nias, yang sejalan dengan pendapat teman saya ini. Mereka tidak menerima jika Nias diklaim sebagai pulau termiskin, atau terbelakang.

Ya, penegasian itu sah-sah saja. Itu bukti bahwa mereka mencintai Pulau Nias. Oleh karenanya, mereka membela Pulau Nias dengan cara begitu. Pertanyaannya, apakah tindakan mereka tersebut tepat? Rasa-rasanya kurang tepat. Sebab, Nias secara defacto memang miskin. Kurang tepat jika kita berkata, Nias tidak miskin tetapi kaya. Kenyataan kemiskinan di Nias harus diakui dan disadari. Jika tidak, berarti kita membiarkan Pulau Nias tenggelam dalam lautan kemiskinan. Sama halnya jika seseorang tenggelam dalam sungai, jika tidak ditolong ia akan mati. Tentu, sebelum kita menolong orang yang tenggelam, pasti kita melihat sekaligus menyadari bahwa orang tersebut memang tenggelam. Dan, sangat celaka jika kita berkata: Ah, ia tidak tenggelam kok. Nah, jika kita berkata demikian, sama halnya kita membiarkannya menjadi tenggelam. Pendeknya, jika kita berkata bahwa Nias tidak miskin, tidak terbelakang, sama halnya kita membiarkan Nias tenggelam dalam penderitaan kemiskinan. Kita ibarat orang yang membungkus bangkai, tetap bau!

Coba Anda bayangkan, bagaimana seorang dokter mengobati pasiennya jika ia tidak mengecek dan mengakui bahwa pasiennya sakit “apa”. Begitu juga halnya, jika kita tidak mengakui bahwa Nias miskin bagaimana mungkin kita membangunnya dan mulai darimana, sektor apa yang perlu dibenahi.

Mengakui kenyataan bahwa Pulau Nias miskin merupakan ucapan truth telling (mengatakan kebenaran). Dan, dasar membongkar permasalah adalah tindakan truth- telling (masalah tidak ditutup-tutupi). Mengklaim Nias sebagai daerah miskin bukan berarti melecehkan Nias; bukan berari merendahkan Nias, melainkan mencoba menyadari bahwa Nias memang miskin. Dan, jika kesadaran ini dibarengi dengan tindakan konkret dan visioner, saya percaya ada roh yang menggerakkan untuk berbuat sesuatu agar Nias lepas dari kemiskinan. Boro-boro orang (yang menegasi bahwa Nias miskin) berbuat sesuatu untuk Nias, mengakui bahwa Nias miskin saja, tidak mau.

Jika kita mengatakan bahwa Nias tidak miskin, kita mesti menyuguhkan bukti riset lapangan. Jangan hanya klaim semata yang tidak dapat dijustifikasi dan tidak memiliki validasi yang akurat. Saya melihat bahwa hasil riset (kajian) dari Bank Dunia dan BRR tentang kemiskinan Nias bisa dipercaya, korespondensif dan koherensif. Pernyataan bahwa Nias termasuk daerah termiskin dikeluarkan Bank Dunia dan BRR pada tanggal 29 Agustus 2007 silam. Laporan ini baru kajian pertama tentang Analisis Pengeluaran Publik untuk Nias (lihat http://www.worldbank.org) yang menggarisbawahi kemiskinan di pulau Nias. Dari laporan ini memperlihatkan bahwa Nias, jauh sebelum tsunami Desember 2004, tergolong daerah termiskin di Sumatra Utara.

Berdasarkan hasil kajian Bank Dunia dan BRR, kemiskinan di Nias bisa dilihat dari beberapa indikator sosial. Pertama, tingkat melek huruf bagi orang dewasa (banyak yang buta huruf, tidak berpendidikan). Kedua, cakupan imunisasi (pelayanan kesehatan kurang). Ketiga, akses listrik terhadap masyarakat Nias berada di bawah rata-rata regional Sumatra dan juga Indonesia. Kondisi pulau ini diperburuk oleh dua kali bencana yang terjadi dan letaknya yang jauh dari daratan memperlambat proses rekonstruksi infrastruktur, perumahan, dan fasilitas-fasilitas publik yang hancur.

Lalu bagaimana agar Nias keluar dari kemiskinan? Restorasi dan rekonstruksi dari segala bidang harus dilakukan. Sektor pertanian mesti diperhatikan, baik pemerintah pun masyarakat Nias yang telah sukses di negeri orang. Selain itu, pemerintah mesti membenahi infrastruktur Nias atau akses pelayanan terhadap publik. Misalnya membangun jalan raya yang layak dilintasi kendaraan. Sektor pendidikan mesti diperhatikan oleh pemerintah, sehingga dengan demikian lahir generasi muda yang memiliki sumber daya manusia yang handal, dan sadar akan masa depan Nias. Sebab, kemiskinan Nias, penyebabnya (salah satu) adalah karena tingkat pendidikan masyarakat Nias masih rendah. Padahal, modal efektivitasan dalam mengelola masa depan secara sadar dan tepat hanyalah orang-orang yang memiliki skill (keahlian).

Saya pernah bertanya kepada seseorang ketika saya pulang ke Nias: menurut Bapak mengapa hampir tidak ada orang yang mau menanamkan modalnya ke Nias? Jawabnya simple tapi nyata: “ya, gimana orang mau menanamkan modal di sini (Nias), pasarnya mana? Jalannya mana? Konsumennya siapa? Akses publik yang memadai mana?” Saya setuju dengan jawaban sang bapak ini. Sebuah jawaban lugas-lepas. Beliau bukan hanya mendengar tetapi melihat langsung bagaimana kenyataan Nias yang terbelakang itu.

Dalam paradigma Nias terkenal pemeo: “lebih baik mati daripada malu.” Pertanyaannya, apakah masyarakat Nias tidak malu sebagai daerah miskin? Apakah masyarakat Nias tidak malu menjadi perantau (dan tetap miskin) di negeri orang lain? Kalau begitu, mengapa kita menyebut diri sebagai “ono Niha” (anak manusia)? Jepang memiliki pemeo yang sama dengan Nias “lebih baik mati dengan cara memotong perut daripada dipermalukan”. Paradigma semacam ini mereka sebut “harakiri”. Tetapi Jepang mampu membuktikan pemeo ini. Kalau Anda perhatikan etos kerja Jepang, sangat disiplin. Mereka adalah manusia-manusia yang tidak mau dikekang oleh kemiskinan.

Sebutan “Ono Niha” sebenarnya sebagai implikasi bahwa kita menganggap diri lebih dibanding yang lain. Dan, seharusnya kita membuktikan bahwa kita memang lebih daripada yang lain, terutama di bidang ekonomi. Jika tidak, pantaskah kita menyebut diri sebagai ono niha (anak manusia), sementara kehidupan kita jauh dari kehidupan yang manusiawi?

Memang sebutan semacam ini bukan hanya di Nias. Orang Asmat (Papua) juga menyebut mereka sebagai anak manusia (asmat). Sebutan-sebutan semacam ini jangan kita pandang hanya sebagai slogan primordialisme-negatif, melainkan sebagai slogan perjuangan berdikari (berdiri di atas kaki sendiri, meminjam istilah Ir. Soekarno) untuk berkontribusi dalam mengeluarkan Nias dari belenggu kemiskinan. Sebab, yang layak disebut “ono niha” atau anak manusia adalah orang-orang yang bebas dari kemiskinan dan yang bebas untuk berdikari atas kesadaran sendiri. Selamat berjuang, Nias!

Komentar»

1. ononiha - Desember 8, 2007

Kita harus mengakui bahwa Nias memang miskin

2. Lumer Daeli - Januari 10, 2016

Awalnya saya cuma iseng cari di google dgn kata kunci ” Nias Miskin “, dan ketemulah website ini.
Saya cukup kagum dgn pikiran anda yg terbuka dan menerima kenyataan.
Seharusnya lebih byk lagi web ttg nias ya.
Menurut saya, kata “miskin dan terbelakang” kurang sopan, mungkin itu penyebab nya byk org yg tidak menyetujuinya :)).
Saya pribadi rindu supaya kita semua membuka mata, hati dan mau peduli untuk Nias yg lebih baik.
Ketika saya kecil (SD), saya punya banyak teman2. Mereka semua punya cita2 ( dokter, polisi, bidan ,dlll), kenyataan nya saat besar, byk dr mereka yg jd kuli dan sudah menikah. Apa yg menghalangi mereka utk menggapai cita2 ?? Mayoritas alasannya : Tidak ada uang utk kuliah krn org tuanya bukan PNS. Yg menyedihkan lg : di wilayah tertentu, ada org2 yg kaya dgn uang korupsi, duduk dgn manis d bangku pejabat, makan makanan enak, kesana kemari utk perjalanan bisnis menggunakan uang org lain, sementara di tempat lain, ada masyrakat yg banting tulang setiap hari mengangkat karet, mencangkul tanah, utk mendapat sedikit nasi.
Teman2 Nias, apakah kalian mau anak2 kita, generasi kita juga tidak mampu mencapai cita2nya kelak ? Apakah kalian puas dgn jembatan yg rusak, rumah & sekolah yg tidak layak pakai, listrik yg terus menerus padam, jalanan yg berlumpur dan aspal2 rusak ?
Mata dan hati saya menangis. Karna saya masih muda, saya tidak mau lg tinggal dlm kemiskinan.
Untuk anda yg menulis blog ini, saya menantang anda untuk membuktikan dan mempertanggungjawabkan kata2 anda yaitu mengubah nias menjadi lbh baik dgn langkah yg “konkret & visioner”. Langkah konkret dan visioner yg mana maksud anda ?
Sementara ide2 yg anda lontarkan bgtu cemerlang, maukah anda bergerak langsung utk melakukan perubahan ?
Kasian anak2 sekolah yg menuju sekolah dgn kaki yg berlumpur. Mereka tersenyum sambil mengutarakan cita2.
Untuk bisa sekolah SD – SMA sudah sangat senang. Sementara kita harus sekolah agar bijaksana sehingga tidak mudah ditipu oleh pihak2 lain. Karet yg disadap petani dgn keringat setiap hari dijual perkilo harganya hny beberapa ribu, sementara pembeli mengekspor nya lagi dan menjualnya puluhan ribu rupiah.
Dari semuanya, yg paling menyedihkan adalah anak2 kecil yg ntah bagaimana masa depan mereka.
Kalau ada saran2’dr teman2 apa yg bisa dilakukan, silahkan utarakan…


Tinggalkan komentar