jump to navigation

Tidak Hanya Memeriksa dan Mengadili November 14, 2007

Posted by ononiha in Opini.
trackback

Oleh: SATJIPTO RAHARDJO Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Pengadilan adalah tindakan hukum untuk masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu pula.

Para hakim Indonesia dihadapkan pada problem-problem Indonesia dewasa ini. Itulah pekerjaan rumahnya. Hakim menyelesaikan problem sosial, bukan hanya memeriksa dan mengadili perkara.

Maka para hakim seyogianya menjadi negarawan lebih dulu, baru menjadi hakim. Mereka tak hanya “memeriksa dan mengadili perkara”, tetapi juga negarawan yang memikirkan keadaan dan nasib bangsanya. Hati mereka ikut tergantung melihat kemiskinan dan pengangguran yang marak, harga kebutuhan pokok melonjak, korupsi yang menggerogoti uang rakyat, dan lainnya Para hakim Indonesia diharapkan menjadi the vigilante, orang yang waspada terhadap keadaan bangsanya.

“Vigilante”

Alangkah bahagianya rakyat jika mereka berani melakukan rule breaking, melakukan terobosan progresif, demi membantu bangsanya keluar dari keterpurukan. Alangkah hebatnya jika mereka berani berbuat seperti para hakim AS saat memberi dukungan terhadap kebangkitan bangsanya di abad ke-19. Mereka membuat berbagai putusan yang sering tak mengikuti tradisi teori hukum yang ada. Mereka lantang mengatakan, “Ini adalah konsep hukum Amerika,” “Ini adalah pembangunan hukum model Amerika,” “Ini adalah doktrin Amerika,” Sungguh, mereka adalah negarawan sekaligus the vigilantes.

Tuan-tuan hakim, ingatlah, betapa besar kekuasaan yang ada pada Anda. Para jamhur bangsa yang membuat UUD 1945 boleh menuliskan apa saja, para legislator boleh memproduksi undang-undang apa saja, tetapi pada akhirnya hakimlah yang menentukan arti satu frase dalam konstitusi dan arti satu perkataan dalam pasal undang-undang. Ronald Dworkin, filsuf hukum, mengatakan, setiap kali hakim memutus, saat itu ia sedang berteori tentang apa hukum itu.

Pada abad-abad lalu pengadilan ibarat mesin. Dan hakim adalah satu sekrup atau tombol mesin itu. Hukum harus penuh kepastian seperti tertera dalam undang-undang. Namun, pada era positivisme seperti sekarang, pekerjaan hakim kian kompleks, bukan lagi tombol mesin otomat (Kompas, 9/7/2003).

Mengapa dibuat Komisi Yudisial? Mengapa masyarakat pasang kuda-kuda dengan Court Monitoring? Mengapa kontrol media menggebu-gebu? Sungguh, tidak ada lagi tempat sembunyi bagi hakim. Itu berarti, hakim dan pengadilan tidak dapat mengetukkan palu semau gue. Kediktatoran pengadilan sudah ditolak (Kompas, 23/4/2001).

Bangsa dan negara ini menghadapi aneka masalah besar, menggunung, dan berat. Pengadilan hanya menambah beban bangsa jika harapan masyarakat terus dikecewakan. Sebaliknya, pengadilan akan membantu mengurangi beban bangsa jika hakim tidak hanya berpikir menerapkan UU, tetapi secara progresif menjadi vigilante.

Abstrak

Keadilan memang abstrak dan semua orang memiliki persepsi masing-masing. Lalu, bagaimana mengukurnya? Jika keadilan itu abstrak, kita masih dapat melihat secara jelas bagaimana proses mencapainya.

Hal itu dapat diamati dan diukur. Masyarakat menjadi kecewa jika dalam proses-proses yang ditangani pengadilan, mereka berkali-kali melihat perilaku buruk para hakim dan lainnya, terutama dalam urusan kebendaan. Kepercayaan kepada pengadilan menipis. Jadi, merebut kembali kepercayaan publik sebaiknya menjadi agenda penting untuk diprogramkan pengadilan.

Hal ini bukan mimpi. Kita pernah mempunyai hakim besar dan bermartabat, seperti Kusumaatmadja. Semua orang tahu perilaku bermartabat hakim agung itu membantu membangun dan mendongkrak kepercayaan orang atas pengadilan.

Survei-survei ke tingkat lokal, seperti dilakukan Bank Dunia (2005), masih menemukan kehadiran “hakim-hakim kecil yang besar”, tetapi biasanya mereka tergencet, terkucilkan, dan menderita, di tengah lingkungan yang korup. Jadi kita tidak bermimpi.

Sekarang, di Indonesia, pengadilan tidak bisa bekerja secara “biasa-biasa” saja. Kita menghadapi aneka persoalan besar. Keadaan bangsa dan negara seperti itu memerlukan tipe hakim-hakim yang berwatak progresif. Mereka tidak hanya “memeriksa dan mengadili perkara”, tetapi secara progresif menjadi vigilante bagi bangsanya. Itulah tipe hakim yang dibutuhkan sekarang.

SATJIPTO RAHARDJO Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar